Minggu, 23 Oktober 2016

Belajar Silat Berarti Belajar untuk Mengendalikan Diri Sendiri



oleh: Gede Agus Bramanta, 24, Mataram

( Juara Harapan Lomba Penulisan Artikel Silat )

Silat sudah cukup dikenal di masyarakat Indonesia. Mendengar kata �silat� pastinya identik dengan figur jagoan. Langsung terbayang mengenai pertarungan kemudian ditentukan siapa yang menang dan siapa yang kalah. Tapi benarkah hanya seperti itu? Ternyata tidak. Banyak hal yang bisa kita pelajari dari ilmu silat. Tidak hanya jurus-jurus hebat atau teknik-teknik bertarung yang membuat kita mampu membela diri dan bisa menjadi jagoan. Belajar silat tidak hanya sekedar belajar memukul, menendang, menangkis ataupun mempertahankan diri dari lawan.

Semua ilmu bela diri yang baik tentunya menuntun kita untuk berada di jalan kebenaran dalam menerapkan ilmu yang telah kita dapatkan. Silat pun demikian. Selain latihan fisik, ilmu silat mengajarkan kita banyak nilai-nilai luhur dan kebaikan, salah satunya adalah pengendalian diri. Pengendalian diri sangatlah penting dimiliki oleh setiap individu. Pengendalian diri membuat setiap orang berpikir dengan akal sehat dalam menghadapi sesuatu. Ketika seseorang mampu mengendalikan emosinya, tentu kesulitan ataupun hal-hal buruk yang sedang dihadapinya akan tersikapi dengan hati yang tenang. Dalam keadaan tenang tersebut, jalan keluar dalam suatu masalah akan mudah untuk didapat.

Kembali lagi tentang silat yang mengajarkan kita untuk lebih mengendalikan diri. Orang-orang pastinya ada yang bertanya. Bagaimana bisa? Apa hubungannya? Bagaimana caranya? Memangnya bisa? Dan masih ada banyak pertanyaan lagi bagi mereka yang memang belum pernah belajar silat dan merasakan manfaatnya. Secara tidak disadari, belajar bela diri tidak hanya untuk melatih fisik, melatih kekuatan, ketahanan, keseimbangan, ataupun ketangkasan kita. Namun, berlatih ilmu bela diri, dalam hal ini berlatih silat, juga membantu melatih jiwa dan pribadi kita. Hal tersebut juga sangat penting sehingga membuat kita kuat secara fisik dan jiwa.

Sesuatu yang baru dipelajari pastinya butuh kesabaran dan ketekunan agar segera berhasil. Belajar silat pun, pada awalnya harus dengan niat yang baik. Kadang orang berpikir belajar silat sepertinya berat dan sulit. Tapi bagi mereka yang sudah berniat, apalagi memang dengan niat yang baik, tentunya semua akan terasa lebih mudah dan menyenangkan. Secara teknis, mengawali belajar ilmu silat adalah diajarkannya prinsip dan nilai luhur silat. Masing-masing pengajar ilmu silat pasti akan memberikan hal tersebut terlebih dahulu agar murid-murid yang belajar nantinya benar-benar punya tujuan yang baik.

Dari memperkenalkan dan memberi pengantar tentang silat, kita akan mulai diajarkan teknik-teknik yang mendasar dari geakan-gerakan yang sederhana. Dalam istilah ilmu silat, sering kita kenal dengan istilah jurus-jurus silat. Pengajar silat mengajarkan kita dari jurus-jurus yang mudah dulu. Itupun kita harus mantap dulu pada suatu tingkatan, baru bisa melanjutkan ke tahap berikutnya. Dari situlah sebenarnya secara tidak langsung, kita sudah dilatih dan belajar untuk mengendalikan diri. Kenapa? Coba kita berpikir sejenak. Yang namanya belajar, pastinya butuh waktu. Butuh kesabaran untuk melakukan segalanya hingga benar-benar bisa dan berhasil. Belajar ilmu bela diri, dalam hal ini belajar silat, tentunya perlu rutinitas yang teratur dan disiplin. Kita berlatih, tentunya tidak mungkin langsung bisa, terlebih lagi jika kita memang benar-benar baru pertama kali mengikuti pembelajaran ilmu bela diri silat.

Hari pertama kita akan dikenalkan dengan dunia silat secara umum. Selanjutnya kita mulai diajarkan jurus-jurus. Memukul, menandang ataupun bertahan. Hari berikutnya, jika kita masih belum mampu menguasai yang diajarkan, maka akan terus dilatih berulang-ulang hingga kita bisa. Di situlah letak pengandalian diri kita dibentuk. Kesabaran kita diuji, emosi dan egois kita yang ingin cepat bisa juga diuji. Tidak semua orang akan tahan dengan rutinitas yang sama dan monoton. Ketika kita belajar silat dan harus mengulangi jurus-jurus yang sama karena kita memang belum mahir hingga beberapa kali latihan, pastinya ada perasaan bosan. Kadang kalau sudah suntuk, pastinya jadi kesal, marah, protes bahkan berhenti belajar. Namun, orang yang benar-benar tekun dan mengerti makna belajar ilmu bela diri, dalam hal ini silat, pasti akan memilih sabar dan tetap berlatih. Berusaha sabar inilah yang mengajarkan kita mengandalikan diri. Kita akan terlatih untuk tetap fokus, mengendalikan egois kita yang ingin segera jadi hebat tanpa menghiraukan proses belajar yang sebenarnya.

Ketika kita terus berlatih dan berlatih tanpa ada perasaan yang emosional, silat akan menjadi menyenangkan. Dengan pikiran tenang dan hati yang bersih, silat akan membantu kita menjadi kuat secara fisik dan mental. Walaupun belajar silat prosesnya panjang, jika direnungi dengan baik maka proses itulah yang mengajarkan kita banyak hal.

Selain kesabaran dalam mempelajarinya, dalam silat kita juga diajarkan untuk bertarung dengan hati yang bersih. Jadi, terhadap lawan pun harus mengasihi. Lagi-lagi pelajaran pengendalian diri kita dapatkan disini. Ketika kita sudah mampu menguasai jurus-jurus hebat silat, kita selalu diingatkan oleh pengajar supaya tidak sombong dan tidak pamer sehingga terkesan sok jagoan. Ilmu silat kita dapatkan hendaknya di gunakan dengan bijak. Ketika berkelahi, kebanyakan orang pastinya menganggap lawan adalah satu-satunya yang menjadi fokus. Bagi orang yang mengandalkan emosi, dalam pikiran yang ada hanyalah keinginan untuk mengalahkan lawan, menumbangkannya dan akhirnya kita menang mutlak. Kebanyakan kejadian seperti itulah yang kita ketahui kalau sedang terjadi perkelahian. Silat memang mengajarkan kita untuk melindungi diri. Kita dibekali dengan jurus-jurus untuk bertahan bahkan melawan orang-orang jahat. Tapi, ilmu silat juga mengajarkan kita untuk menghadapi perkelahian dengan tenang. Pastinya pangajar silat yang baik akan mengajarkan muridnya untuk tetap berpikir bijak dalam menghadapi masalah atau situasi buruk apapun yang ada di depan mata.

Dengan terbiasa belajar ilmu bela diri, dalam hal ini silat, kita tidak akan gegabah langsung berkelahi dengan musuh. Kita diajar untuk sabar, berbicara dengan kepala dingin karena siapa tahu situasi yang buruk tersebut dapat terselesaikan dengan baik. Bahkan, bisa saja perkelahian tidak akan terjadi. Jurus-jurus silat yang diajarkan pada kita tentunya harus digunakan jika memang dalam keadaan yang sangat terdesak. Ilmu bela diri, termasuk silat, pastinya mengajarkan kita untuk bisa mengendalikan emosi kita ketika sedang ada dalam situasi perkelahian. Kalau masih bisa dibicarakan baik-baik, tentunya tidak perlu sampai harus berkelahi. Kalau pun terpaksa berkelahi, kita yang seandainya sudah belajar silat, pastinya akan bertarung seperluny. Dalam hal ini bertarung bukan untuk mengalahkan lawan tapi menyadarkan lawan. Tidak ada gunanya kekerasan.

Bisa kita ketahui dengan jelas bahwa belajar ilmu bela diri, dalam hal ini belajar silat, berarti kita juga belajar untuk mengendalikan diri. Kita jadi terbantu untuk mengahadapi situasi apapun dengan pikiran tenang dan tidak hanya mengikuti emosi dan nafsu kita. Terkait dengan peran kita di dalam kehidupan, baik sebagai individu maupun manusia yang punya hubungan dengan lingkungan sekitar kita, belajar ilmu silat juga sangat membantu untuk menjadikan kita sebagai pribadi yang baik. Misalnya, jika kita sebagai pelajar. Bisa dibayangkan bagaimana dunia pelajar sekarang ini. Energik dan dinamis. Banyak hal yang dilalui. Mulai dari kegiatan rutin belajar di sekolah yang terkadang membuat jenuh otak. Belum lagi pergaulan yang ada. Kadang bisa banyak memiliki teman, tapi kadang selisih paham bisa terjadi hanya karena lonjakan emosi dan diri yang labil. Kalau sudah begitu, yang namanya saling bertengkar ataupun saling menyalahkan pasti mudah sekali terjadi. Untuk melewati itu semua, alangkah baiknya jika kita mengikuti kegiatan-kegiatan yang dapat membantu dan melatih diri kita agar lebih sabar. Berlatih silat tentunya bisa dijadikan salah satu pilihan.

Belajar silat bisa diikuti oleh semua kalangan. Bahkan orang dewasa yang punya tingkat stres lebih tinggi dari pada pelajar, seperti yang dicontohkan sebelumnya, sangatlah baik jika mau berlatih silat. Dunia kerja pastinya lebih keras. Atasan yang menyebalkan ataupun rekanan kerja yang kadang tidak sejalan, semua itu adalah hal yang sering terjadi di dunia kerja saat ini. Untuk melewati itu semua, tentunya perlu kegiatan yang dapat membentuk pribadi kita menjadi pribadi yang bijak. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, dengan belajar silat tidak hanya untuk melindungi diri, tapi juga kita diajarkan untuk lebih bisa menahan emosi. Sehingga serumit atau seberat apapun suatu keadaan, kita akan tenang menghadapinya.

Dari uraian-uraian yang sudah terpaparkan, jelas menunjukkan bahwa silat tidak hanya sekedar pukulan, tendangan, pertahanan, ataupun jurus-jurus hebat. Ada yang lebih penting dan lebih bermakna dari itu. Belajar silat berarti kita juga belajar untuk mengendalikan diri kita sendiri. Belajar silat berarti mengajarkan kita juga untuk tidak egois dan harus bisa mengendalikan emosi. Jadi, jangan pikir belajar silat hanya untuk menjadi jagoan hebat, tapi juga menjadi jagoan yang bijaksana.

Sejarah Singkat Silat Cimande

Sejarah Silat Cimande

Bela diri di tanah air sebenarnya tidak kalah dari bela diri luar. Sebenarnya kalau anda tahu kehebatan silat tanah air ini sanggup mengalahkan bela diri dari luar. Banyak kedahsyatan jurus silat yang tersembunyi. Salah satunya adalah Silat Cimande yang terkenal di Jawa Barat. Sejarah Silat Cimandesangat menarik untuk di simak. Tepatnya cerita awal mula terciptanya jurus silat cimande yang cukup fenomenal ini.
Semua komunitas Maenpo Cimande sepakat tentang siapa penemu Maenpo Cimande, semua mengarah kepada Abah Khaer (penulisan ada yang: Kaher, Kahir, Kair, Kaer dsb. Abah dalam bahasa Indonesia berarti Eyang, atau dalam bahasa Inggris Great Grandfather). Tetapi yang sering diperdebatkan adalah dari mana Abah Khaer itu berasal dan darimana dia belajar Maenpo. Ada 3 versi utama yang sering diperdebatkan, yaitu:
1. Versi Pertama
Ini adalah versi yang berkembang di daerah Priangan Timur (terutama meliputi daerah Garut dan Tasikmalaya) dan juga Cianjur selatan. Berdasarkan versi yang ini, Abah Khaer belajar Silat dari istrinya. Abah Khaer diceritakan sebagai seorang pedagang (dari Bogor sekitar abad 17-abad 18) yang sering melakukan perjalanan antara Batavia, Bogor, Cianjur, Bandung, Sumedang, dsb. Dan dalam perjalanan tersebut beliau sering dirampok, itu terjadi sampai istrinya menemukan sesuatu yang berharga.
Suatu waktu, ketika Abah Khaer pulang dari berdagang, beliau tidak menemukan istrinya ada di rumah… padahal saat itu sudah menjelang sore hari, dan ini bukan kebiasaan istrinya meninggalkan rumah sampai sore. Beliau menunggu dan menunggu… sampai merasa jengkel dan khawatir… jengkel karena perut lapar belum diisi dan khawatir karena sampai menjelang tengah malam istrinya belum datang juga. Akhirnya tak lama kemudian istrinya datang juga, hilang rasa khawatir… yang ada tinggal jengkel dan marah. Abah Khaer bertanya kepada istrinya… “ti mana maneh?” (Dari mana kamu?) tetapi tidak menunggu istrinya menjawab, melainkan langsung mau menempeleng istrinya. Tetapi istrinya malah bisa menghindar dengan indahnya, dan membuat Abah Khaer kehilangan keseimbangan. Ini membuat Abah Khaer semakin marah dan mencoba terus memukul… tetapi semakin mencoba memukul dengan amarah, semakin mudah juga istrinya menghindar. Ini terjadi terus sampai Abah Khaer jatuh kecapean dan menyadari kekhilafannya… dan bertanya kembali ke istrinya dengan halus “ti mana anjeun teh Nyi? Tuluy ti iraha anjeun bisa Ulin?” (Dari mana kamu? Lalu dari mana kamu bisa “Main”?).
Akhirnya istrinya menjelaskan bahwa ketika tadi pagi ia pergi ke sungai untuk mencuci dan mengambil air, ia melihat Harimau berkelahi dengan 2 ekor monyet. (Salah satu monyet memegang ranting pohon.) Saking indahnya perkelahian itu sampai-sampai ia terkesima, dan memutuskan akan menonton sampai beres. Ia mencoba mengingat semua gerakan baik itu dari Harimau maupun dari Monyet, untungnya baik Harimau maupun Monyet banyak mengulang-ngulang gerakan yang sama, dan itu mempermudah ia mengingat semua gerakan. Pertarungan antara Harimau dan Monyet sendiri baru berakhir menjelang malam.
Setelah pertarungan itu selesai, ia masih terkesima dan dibuat takjub oleh apa yang ditunjukan Harimau dan Monyet tersebut. Akhirnya ia pun berlatih sendirian di pinggir sungai sampai betul-betul menguasai semuanya (Hapal), dan itu menjelang tengah malam.
Apa yang ia pakai ketika menghindar dari serangan Abah Khaer, adalah apa yang ia dapat dari melihat pertarungan antara Harimau dan Monyet itu. Saat itu juga, Abah Khaer meminta istrinya mengajarkan beliau. Ia berpikir, 2 kepala yang mengingat lebih baik daripada satu kepala. Ia takut apa yang istrinya ingat akan lupa. Beliau berhenti berdagang dalam suatu waktu, untuk melatih semua gerakan itu, dan baru berdagang kembali setelah merasa mahir. Diceritakan bahwa beliau bisa mengalahkan semua perampok yang mencegatnya, dan mulailah beliau membangun reputasinya di dunia persilatan.
Jurus yang dilatih:
1. Jurus Harimau/Pamacan (Pamacan, tetapi mohon dibedakan pamacan yang “black magic” dengan jurus pamacan. Pamacan black magic biasanya kuku menjadi panjang, mengeluarkan suara-suara aneh, mata merah dll. Silakan guyur aja dengan air kalau ketemu yang kaya gini).
2. Jurus Monyet/Pamonyet (Sekarang sudah sangat jarang sekali yang mengajarkan jurus ini, dianggap punah. Saya sendiri sempat melihatnya di Tasikmalaya, semoga beliau diberi umur panjang, kesehatan dan murid yang berbakti sehingga jurus ini tidak benar-benar punah).
3. Jurus Pepedangan (ini diambil dari monyet satunya lagi yang memegang ranting).
Cerita di atas sebenarnya lebih cenderung mitos, tidak bisa dibuktikan kebenarannya, walaupun jurus-jurusnya ada. Maenpo Cimande sendiri dibawa ke daerah Priangan Timur dan Cianjur selatan oleh pekerja-pekerja perkebunan teh. Hal yang menarik adalah beberapa perguruan tua di daerah itu kalau ditanya darimana belajar Maenpo Cimande selalu menjawab “ti indung” (dari ibu), karena memang mitos itu mempengaruhi budaya setempat, jadi jangan heran kalau di daerah itu perempuan pun betul-betul mempelajari Maenpo Cimande dan mengajarkannya kepada anak-anak atau cucu-cucunya, seperti halnya istrinya Abah Khaer mengajarkan kepada Abah Khaer.
Perkembangannya Maenpo Cimande sendiri sekarang di daerah tersebut sudah diajarkan bersama dengan aliran lain (Cikalong, Madi, Kari, Sahbandar, dll). Beberapa tokoh yang sangat disegani adalah K.H. Yusuf Todziri (sekitar akhir 1800 – awal 1900), Kiai Papak (perang kemerdekaan, komandannya Mamih Enny), Kiai Aji (pendiri Gadjah Putih Mega Paksi Pusaka, perang kemerdekaan), Kiai Marzuk (Maenpo H. Marzuk, jaman penjajahan Belanda), dll.
2. Versi Kedua
Menurut versi kedua, Abah Khaer adalah seorang ahli maenpo dari Kampung Badui. Beliau dipercayai sebagai keturunan Abah Bugis (Bugis di sini tidak merujuk kepada nama suku atau daerah di Indonesia Tengah). Abah Bugissendiri adalah salah seorang Guru ilmu perang khusus dan kanuragaan untuk prajurit pilihan di Kerajaan Padjadjaran dahulu kala. Kembali ke Badui, keberadaan Abah Khaer di Kampung Badui mengkhawatirkan sesepuh-sesepuh Kampung Badui, karena saat itu banyak sekali pendekar-pendekar dari daerah lain yang datang dan hendak mengadu jurus dengan Abah Khaer, dan semuanya berakhir dengan kematian. Kematian karena pertarungan di tanah Badui adalah merupakan “pengotoran” akan kesucian tanah Badui.
Karena itu, pimpinan Badui (biasa dipanggil Pu’un) meminta Abah Khaer untuk meninggalkan Kampung Badui, dengan berat hati… Abah Khaer pun pergi meninggalkan Kampung Badui dan bermukim di desa Cimande-Bogor. Tetapi, untuk menjaga rahasia-rahasia Kampung Badui (terutama Badui dalam), Abah Khaer diminta untuk membantah kalau dikatakan dia berasal dari Badui, dan orang Badui (Badui dalam) pun semenjak itu diharamkan melatih Maenpo mereka ke orang luar, jangankan melatih… menunjukan pun tidak boleh. Satu hal lagi, Abah Khaer pun berjanji untuk “menghaluskan” Maenpo nya, sehingga tidak ada lagi yang terbunuh dalam pertarungan, dan juga beliau berjanji hanya akan memakai dan memanfaatkannya untuk kemanusiaan. Oleh karena itu, dahulu beberapa Guru-guru Cimande tua tidak akan menerima bayaran dari muridnya yang berupa uang, lain halnya kalau mereka memberi barang… misal beras, ayam, gula merah atau tembakau sebagai wujud bakti murid terhadap Guru. Barang-barang itupun, oleh Guru tidak boleh dijual kembali untuk diuangkan.
Versi kedua ini banyak diadopsi oleh komunitas Maenpo dari daerah Jawa Barat bagian barat (Banten, Serang, Sukabumi, Tangerang, dsb). Mereka juga mempercayai beberapa aliran tua di sana awalnya dari Abah Khaer, misalnya Sera. Penca Sera berasal dari Uwak Sera yang dikatakan sebagai salah seorang murid Abah Khaer (ada yang mengatakan anak, tetapi paham ini bertentangan dengan paham lain yang lebih tertulis). Penca Sera sendiri sayangnya sekarang diakui dan dipatenkan di USoleh orang Indo-Belanda sebagai beladiri keluarga mereka.
3. Versi Ketiga
Versi ketiga inilah yang “sedikit” ada bukti-bukti tertulis dan tempat yang lebih jelas. Versi ini pulalah yang dipakai oleh keturunan beliau di Kampung Tarik Kolot – Cimande (Bogor). Meskipun begitu, versi ini tidak menjawab tuntas beberapa pertanyaan, misal: Siapa genius yang menciptakan aliran Maenpo ini yang kelak disebut Maenpo Cimande.
Abah Khaer diceritakan sebagai murid dari Abah Buyut, masalahnya dalam budaya Sunda istilah Buyut dipakai sebagaimana “leluhur” dalam bahasaIndonesia. Jadi Abah Buyut sendiri merupakan sebuah misteri terpisah, darimana beliau belajar Maenpo ini… apakah hasil perenungan sendiri atau ada yang mengajari? Yang pasti, di desa tersebut… tepatnya di Tanah Sareal terletak makam leluhur Maenpo Cimande ini… Abah Buyut, Abah Rangga, Abah Khaer, dll.
Abah Khaer awalnya berprofesi sebagai pedagang (kuda dan lainnya), sehingga sering bepergian ke beberapa daerah, terutama Batavia. Saat itu perjalanan Bogor-Batavia tidak semudah sekarang, bukan hanya perampok… tetapi juga Harimau, Macan Tutul dan Macan Kumbang. Tantangan alam seperti itulah yang turut membentuk beladiri yang dikuasai Abah Khaer ini. Disamping itu, di Batavia Abah Khaer berkawan dan saling bertukar jurus dengan beberapa pendekar dari China dan juga dari Sumatra. Dengan kualitas basic beladirinya yang matang dari Guru yang benar (Abah Buyut), juga tempaan dari tantangan alam dan keterbukaan menerima kelebihan dan masukan orang lain, secara tidak sadar Abah Khaer sudah membentuk sebuah aliran yang dahsyat dan juga mengangkat namanya.
Saat itu (sekitar 1700-1800) di Cianjur berkuasa Bupati Rd. Aria Wiratanudatar VI (1776-1813, dikenal juga dengan nama Dalem Enoh). Sang Bupati mendengar kehebatan Abah Khaer, dan memintanya untuk tinggal di Cianjur dan bekerja sebagai “pamuk” (pamuk=guru beladiri) di lingkungan Kabupatian dan keluarga bupati. Bupati Aria Wiratanudatar VI memiliki 3 orang anak, yaitu: Rd. Aria Wiranagara (Aria Cikalong), Rd. Aria Natanagara (Rd.Haji Muhammad Tobri) dan Aom Abas (ketika dewasa menjadi Bupati di Limbangan-Garut). Satu nama yang patut dicatat di sini adalah Aria Wiranagara (Aria Cikalong), karena beliaulah yang merupakan salah satu murid terbaik Abah Khaer dan nantinya memiliki cucu yang “menciptakan” aliran baru yang tak kalah dasyat.
Sepeninggal Bupati Aria Wiratanudatar VI (tahun 1813), Abah Khaer pergi dari Cianjur mengikuti Rd. Aria Natanagara yang menjadi Bupati di Bogor. Mulai saat itulah beliau tinggal di Kampung Tarik Kolot – Cimande sampai wafat (Tahun 1825, usia tidak tercatat). Abah Khaer sendiri memiliki 5 orang anak, seperti yang dapat dilihat di bawah ini. Mereka inilah dan murid-muridnya sewaktu beliau bekerja di kabupaten yang menyebarkan Maenpo Cimande ke seluruh Jawa Barat.
Sayangnya image tentang Abah Khaer sendiri tidak ada, cuma digambarkan bahwa beliau: “selalu berpakain kampret dan celana pangsi warna hitam. Dan juga beliau selalu memakai ikat kepala warna merah, digambarkan bahwa ketika beliau “ibing” di atas panggung penampilannya sangat expressif, dengan badan yang tidak besar tetapi otot-otot yang berisi dan terlatih baik, ketika “ibing” (menari) seperti tidak mengenal lelah. Terlihat bahwa dia sangat menikmati tariannya tetapi tidak kehilangan kewaspadaannya, langkahnya ringan bagaikan tidak menapak panggung, gerakannya selaras dengan kendang (“Nincak kana kendang” – istilah sunda). Penampilannya betul-betul tidak bisa dilupakan dan terus diperbincangkan.” (dari cerita/buku Pangeran Kornel, legenda dari Sumedang, dalam salah satu bagian yang menceritakan kedatangan Abah Khaer ke Sumedang, aslinya dalam bahasa Sunda, pengarang Rd Memed Sastradiprawira).